Sakti: Pemerintah Lakukan 'Pemaksaan' Terkait RUU Pemilu
Sekjen Serikat Kerakyatan Indonesia (Sakti), Girindra Sandino, menilai sikap pemerintah melalui Mendagri Tjahjo Kumolo yang terkesan mengancam mundur dari pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum merupakan penghinaan terhadap DPR dan rakyat serta melakukan pemaksaan kehendak."Ini bisa disebut penghinaan terhadap DPR dan rakyat yang diwakili, karena pemerintah telah melakukan pemaksaan kehendak tanpa menghiraukan pendapat orang lain," kata Girindra Sandino, di Jakarta, Sabtu (17/6/2017.
Apalagi, lanjut dia, 'ancaman' itu disuarakan ketika sejumlah fraksi DPR yang berada di Pansus RUU Pemilu terkesan menolak usulan pemerintah yang didukung PDIP, Golkar dan NasDem. Yaitu, untuk memberlakukan syarat ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20 persen perolehan kursi di DPR atau 25 persen perolehan suara hasil pemilu nasional.
Ia juga menilai pernyataan pemerintah yang diwakili Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo, juga dapat disebut sebagai pernyataan yang otoriter.
"Ini karena memaksakan keinginan pemerintah. Sikap yang memaksakan harus seragam dengan keinginan pemerintah, sama saja dengan 'pemerkosaan' terhadap demokrasi," ucapnya.
Oleh karena itu, pihaknya meminta agar Mendagri menarik kembali ancamannya, karena akan membuat malu Presiden Joko Widodo dan tidak tertutup kemungkinan akan menjadi bumerang politik.
"Dan DPR RI sebagai wakil rakyat terhormat, jangan berdiam diri," ucapnya.
Menurut Girindra, jika pemerintah mundur dalam pembahasan RUU Pemilu otomatis Presiden harus mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu).
Dalam UU Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, ditegaskan bahwa 'Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang'. Hal ini juga tertuang dalam Pasal 1 angka 4 UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) yang menyebut 'Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa'.
"Bahwa subjektivitas Presiden dalam menafsirkan 'hal ihwal kegentingan yang memaksa' yang menjadi dasar diterbitkannya Perpu, akan dinilai DPR apakah kegentingan yang memaksa itu benar terjadi atau akan terjadi. Persetujuan DPR ini hendaknya dimaknai memberikan atau tidak memberikan persetujuan," katanya.
Namun yang menjadi pertanyaan, meski kekosongan hukum yang menjadi kebutuhan akan pengaturan materiil terkait hal yang harus diatur sudah sangat mendesak, tetapi kegentingan yang memaksa itu yang paling memberikan kontribusi adalah pemerintah sendiri.
"Sehingga,sederhananya Presiden mengeluarkan Perppu karena pemerintahnya sendiri yang membuatnya. Aneh memang, tapi itulah kenyataannya," katanya.
Bahkan, tambah dia, tidak tertutup kemungkinan, parpol-parpol pendukung pemerintah terbelah dalam pembahasan isu krusial Presidential Threshold, karena 'syahwat' kekuasaan sudah merasuki para pimpinan parpol yang ingin menjadi orang nomor satu di Indonesia.
Sebelumnya, pemerintah akan menarik pembahasan RUU Pemilu yang saat ini berlangsung di panitia khusus (pansus) DPR karena permintaan pemerintah untuk mempertahankan presidential threshold belum mendapat kepastian.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menyatakan, selama pembahasan, pemerintah banyak mengalah pada isu-isu tertentu misalnya, penambahan kursi DPR hingga pemberian dana pelatihan saksi partai. Namun, hal berbeda justru dilakukan fraksi-fraksi DPR.
"Maka, saya juga mohon teman-teman fraksi di pansus ya ngalah juga dong. Jika terus seperti ini, tidak akan pernah ada titik temu," katanya.
Pihaknya pun mulai mempertimbangkan opsi untuk menarik RUU tersebut dari pembahasan. Hal itu diperbolehkan dan diatur dalam UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Sebagai gantinya, pemerintah bisa menyiapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu).
Namun demikian, ia menegaskan bahwa Perppu adalah opsi yang terakhir, dan dirinya masih berharap fraksi-fraksi partai di DPR mau mengubah sikap. (HYS/Ant)
下一篇:Pertemuan Politik, PSI dan Partai Golkar Sepakat Lanjutkan Program Presiden Jokowi
相关文章:
- 全球服装设计最好的大学有哪些?
- PT Victoria Care Indonesia Tbk Umumkan Perubahan Pengurus Perseroan dan Pembagian Dividen
- Cacing Parasit Ditemukan di Tubuh Pasien Kanker 70 Tahun, Kok Bisa?
- Telkom Sematkan AI pada Layanan Netmonk, Kini Monitoring Jaringan Semakin Canggih
- Prahara UMP DKI Jakarta: di Angka Berapa Upah Buruh Berlabuh?
- Jokowi Minta Maaf di Sidang Tahunan MPR, Habiburokhman: Sikap Negarawan Sejati
- Bakal Diakuisisi Perusahaan Singapura, Saham Emiten Minuman TGUK Terbang 34%
- Proyek Dragon Kian Lengkap, Danantara Siap Chip In
- Ini yang Bikin Pelaku Penipuan Tiket Coldplay Tidak Bisa Mengelak
- 3 Cara Simpan Buah Naga agar Lebih Tahan Lama, Awet hingga 6 Bulan
相关推荐:
- FOTO: Selamat Ulang Tahun ke
- Terkesan Sepele, Ini 7 Manfaat Jalan Kaki Sepuluh Menit Setelah Makan
- Sidang Perdana Ratna Sarumpaet, Pengacara Berikan Ini ke Kliennya
- Cak Imin Ungkap Alasan PKB Gabung Koalisi dengan Prabowo Gibran: Sudah Final!
- Bebas Penyakit Mulut dan Kuku, Indonesia Dikabarkan Lirik Jeroan Sapi Brasil
- Isu Akuisisi J Resources Mencuat, Manajemen DOID dan PSAB Angkat Bicara
- Proyek Migas Natuna Bukti Keterbatasan Geografis Tak Jadi Penghalang Kinerja Anak Bangsa
- Menteri UMKM Ungkap Solusi Terbaik untuk Polemik Tarif Ojek Online
- KPU Pastikan Tahapan Pendaftaran Caleg Secara Digital
- Christina Aguilera Manggung Pakai Gaun Rancangan Desainer Indonesia
- 4 Cara Menghindari Kursi Tengah di Pesawat
- Asing Net Buy Rp1,37 Triliun saat IHSG Lesu, BBRI Paling Dilirik
- 歌剧vs音乐剧,还在傻傻分不清吗?
- Kritikan Anies Baswedan Disambut Menteri PUPR
- 3 Alasan Perindo Dukung Ganjar Pranowo Jadi Bacapres
- 艺术生去意大利留学一年大约多少人民币?
- Pertemuan Politik, PSI dan Partai Golkar Sepakat Lanjutkan Program Presiden Jokowi
- Rezim Trump Ngotot, Keputusan Pengadilan Tak Akan Hentikan Negosiasi Tarif AS
- 悉尼大学艺术硕士申请条件详解
- Singapura Siapkan Kereta Ekstra Layani Fans Nonton Konser Taylor Swift